Pages

Dari bahasa melayu menjadi bahasa Indonesia

Rabu, 05 Mei 2010



DARI BAHASA MELAYU MENJADI BAHASA INDONESIA

Oleh Sudarno

Fakultas Sastra dan Seni Rupa – Universitas Sebelas Maret

Bahasa-bahasa yang tersebar di dunia ini tidak hanya tumbuh dalam seting historis tertentu, tetapi juga berkembang berdasarkan interaksi dengan lingkungan sosial tertentu yang bersinggungan antar ruang dan waktu. Ini yang menyebabkan terjadinya saling mempengaruhi dalam penggunaan bahasa. Perkembangan historis itu dapat dilihat dari asal usul bahasa yang merupakan alat komunikasi antar orang yang berkembang dari bahasa isyarat ke kata-kata yang semakin komunikatif.

Perkembangan itu juga berlangsung dalam satu ruang social. Perubahan-perubahan ruang yang terjadi telah menyebabkan satu bahasa bertemu dengan bahasa lain. Daerah perbatasan, misalnya mempertemukan suatu tempat dengan tempat lain, saling pengaruh antar bahasa terjadi dengan intensitas yang melebihi daerah-daerah lain. Pertemuan itu menyebabkan saling pengaruh dan memperkaya khasanah bahasa masing-masing, sehingga itudapat memperkaya perbendaharaan kata baru.

Perkembangan bahasa dalam konteks tersebut di atas memiliki tiga bentuk: pertama perkembangan bahasa yang dipengaruhi oleh interaksi antar daerah; kedua perkembangan yang bahasa disebabkan oleh interaksi antara satu bahasa daerah dengan bahasa daerah yang lain; dan yang terakhir, perkembangan bahasa yang diakibatkan oleh pertemuan bahasa ini dalam konteks yang lebih luas (Irwan Abdullah, 2007).

Menurut ahli etnologi dan filologi, bahasa Melayu termasuk bahasa Austronesia, berasal dari Kepulauan Riau (Sumatera) telah mengalami proses perkembangan seperti itu. Mula-mula bahasa ini hanya dipercakapkan terbatas oleh penuturnya di Riau dan sekitarnya. Secara kebetulan, karena kepulauan ini terletak di jalur perdagangan yang sangat ramai di selat Malaka; dan penduduknya sebagian besar bermatapencaharian sebagai nelayan atau pedagang antar pelabuhan; serta bahasanya mudah dipahami atau komunikatif; maka penutur bahasa Melayu sering berinteraksi dengan penutur bahasa yang lain (seperti bahasa Hindi, Malagasi, Tagalok, Jawa, dan lain-lainnya) sehingga menjadi dikenal dan berkembang di Malaka dan daerah-daerah sekitarnya (Vlekke, 2008: 11). Akhirnya bahasa ini tidak hanya digunakan oleh para pedagang di sekitar perairan Malaka, tetapi juga di seluruh Nusantara. Pada Zaman Kerajaan majaphit, atau diperkirakan sebelum abad XV, bahasa Melayu itu telah menjadi lingua franca – bahasa dagang - bagi para saudagar di pelabuhan-pelabuhan di Asia, Asia Tenggara, dan Asia Timur (Ricklefs, 1991: 77; Linschoten, 1910: Bab IV)

Pada bulan Agustus 2002, bahasa Melayu – dianggap banyak penuturnya di dunia - pernah ditulis di dalam salah satu surat khabar di Malaysia bahwa bahasa Melayu menduduki posisi keempat dalam urutan bahasa utama dunia, setelah Bahasa Tionghoa, Inggris, dan Spanyol. Menurut James T. Collins, hal itu tidak betul. Ia mengatakan bahwa jumlah penutur bahasa Melayu di seluruh dunia hanya 250 juta orang, sedang penutur bahasa Hindi – yang menjadi bahasa ibu maupun bahas kedua (ketiga) di India dan di negara lain seperti di Mauritius, Afika selatan, Yaman, dan lain-lain pada thun 1988 – berjumlah 300-435 juta orang (J.C. Collins, 2009, hal. 14-21).

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa melayu mempunyai peranan yang sangat penting di berbagai bidang atau kegiatan di Indonesia pada masa lalu. Ini tidak hanya sekedar sebagai alat komunikasi di bidang ekonomi (perdagangan), tetapi juga di bidang sosial (alat komunikasi massa), politik (perjanjian antar kerajaan), dan sastra-budaya (penyebaran agama Islam dan Kristen) (Suryomihardjo, 1979, hal. 63). Di Indonesia banyak karya sastra berbahasa Melayu, di antaranya seperti Hikayat Raja Pasai, Sejarah Melayu, Hikayat Hasanudin, dan lin-lain.

Sejak itu penguasaan dan pemakaian bahasa Melayu menyebar ke seluruh pelosok kepuluan Indonesia (tidak hanya di daerah pantai atau pelabuhan tetapi juga di pedalaman) dan memberikan wilayah yang heterogen itu suatu kesan kebersatuan kepada pihak luar. Tetapi ada juga kesatuan yang lebih mendalam yang mengikat bersama sebagian besar suku bangsa dan orang Indonesia. Keastuan ini muncul dari unsur-unsur dasar yang umum dari peradaban mereka.

Kemudian muncullah sebuah pertanyaan, bagaimana bahasa Melayu tersebut dapat diadopsi menjadi bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia, di negara RI? Perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak lama telah menjadi pembicaraan luas. Seperti telah diceriterakan di atas bahwa bahasa Melayu yang aslinya merupakan salah satu bahasa daerah dari kurang lebih 512 bahasa daerah di wilayah Indonesia (Irwan Abdullah, 2008), telah lama memiliki peranan penting di bidang ekonomi, sosial, politik, dan sastra-budaya.

Selanjutnya, pada awal abad XX di Indonesia berkembang suatu situasi yang mendorong munculnya suatu pemikiran akan perbaikan nasib terhadap rakyat pribumi dari pemerintaah kolonial Belanda melalui kebijakan Politik Etis (Kahin, 1952)., yang meliputi: program edukasi, transmigrasi, dan irigasi. Melalui program edukasi itulah, sekolah-sekolah bumi putra bermunculan dengan pengantar bahasa daerah, di mana sekolahan itu berada. Pada perkembangan berikutnya, pemerintah menuntut agar setiap sekolah menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantarnya.Tetapi sejak awal abad xx kepentingan daerah jajahan memerlukan tenaga-tenaga rendahan yang mengerti bahasa Belanda, kemudian muncul sekolah-sekolah dengan pengantar bahasa Belanda. Di kota-kota, sekolah lebih banyak mengajarkan bahasa Belanda.

Dengan sistem pendidikan itu, kemudian munculah kelompok elit baru yang amat peka terhadap perubahan jaman (Pringgodigdo, 1970; Savitri, 1985). Tanda-tanda kepekaan terhadap perubahan itu dapat dilihat dengan lahirnya organisasi yang bercorak polityik yang mencita-citakan kemajuan dan kemerdekaan bangsa, seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij. Sangat menarik untuk dicatat ialah mengenai bahasa yang dipakai di dalam konggres-konggres oleh orgranisasi pergerakan Indonesia pada waktu itu adalah kebanyakan bahasa Melayu, Jawa, dan Belanda. Salah seorang pelajar yang tergabung dalam Indonesische Verbond van studeerenden di Wageningen, Belanda, pada tahun 1918 telah mengusulkan agar bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah di Indonesia (A. Suryomihardjo, 1979).

Di Indonesia sendiri perkembangan pers berbahasa Melayu dinilai sangat penting peranannya, karena pers itu dapat langsung mencapai penduduk bumi putera. Pada mulanya pers Melayu adalah milik orang Belanda maupun Cina, tetapi tidak jarang dewan redaksinya campuran. Umumnya guru bahasa Melayu yang duduk di dalam dewan redaksi. Kemudian bermunculan mingguan dan surat khabar berbahasa Melayu, Jawa, dan Belanda, seperti Medan Priyai (1907-1912), Sarotama (1914), Indonesia Merdeka (1923), Bataviaasch Genootschap, dan lain-lain (A. Surjamihardjo, 1979).

Dengan munculnya majalah dan surat khabar-surat khabar berbahasa daerah itu, pemerintah kolonial Belanda merasa kawatir. Banyak kasus persdelict di Indonesia pada waktu itu, yaitu larangan terbit bagi brosur dan pers yang berbahasa daerah. Suatu contoh terbitnya artikel yang berjudul Als ik eens Nederlander was, dan dalam bahasa Melayu, Jikalau saya sorang Belanda, pada tahun1913 dilarang untuk diterbitkan. Artikel ini menceriterakan pengecaman terhadap perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda yang akan di selenggarakan di Indonesia.

Melalui perkembangan pendidikan dan pengajaran yang semakin maju di Indonesia, bahasa Melayu menjadi semakin populer dan bersifat egaliter, sehingga sidang-sidang atau kongres-kongres dari organisasi pergerakan nasional Indonesia menggunakan Bahasa Melayu. Ini ternyata menjadikan bekal untuk mempersatukan seluruh bangsa Indonesia dalam berjuang melawan pemerintah Kolonial Belanda.

Oleh karena itu, para pemuda Indonesia dalam konggresnya yang ke 2 bersatu pada tanggal 28 Oktober 1928 bertekat bulat untuk menggalang persatuan dan kesatuan dengan Sumpah Pemuda Indonesia Raya. Konggres itu menghasilkan keputusan: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Sejak itulah bahasa Melayu disepakati untuk diangkat sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional yaitu Bahasa Indonesia (Pringgodigdo, 1970) .

LITERATUR.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar

 
 
 

papapcuap